Thoughts on Growing Up
“Please don’t grow up, it’s a trap..”
“Please don’t grow up, you’ll end up regretting your
own choice..”
Selama bertahun-tahun, aku meyakini kedua ungkapan tadi
yang kedengarannya bijaksana. Dan selama bertahun-tahun juga, aku mengiyakan
kalau dalam proses menjadi dewasa dan bahkan setelah menjadi dewasa pun,
bukanlah suatu pilihan yang mengenakkan.
Aku (atau mungkin kamu juga?) dibayangi dengan
perbandingan, “Waktu kecil aku disuruh bobok siang, sekarang malah sering
ngantuk waktu jaga poli..” or “Waktu kecil aku bisa makan apa aja, soalnya anak
yang pipinya tembem malah disukain sama orang dewasa. Nah sekarang? Yang ada
malah dikatain gendut.."
Meskipun background kita gak 100% sama, aku yakin,
kamu juga pernah merasakan hal yang sama. Sama- sama setuju kalau menjadi
dewasa butuh kesabaran. Kesabaran untuk belajar dan memetik pelajaran dari tiap
peristiwa hidup yang datang silih berganti. Sama seperti waktu aku ditegur dengan pelajaran hidup yang banyak banget aku dapat dari hari-hariku di rumah
sakit.
Aku kira poli pediatrik sosial atau poli tumbuh
kembang itu is all about fun. Lihat-lihat anak imut. Bercanda sambil cubit
pipi tembem mereka dengan rasa gemas. Cuma bicara soal imunisasi. “Ih anaknya
imut ya Bu, sekarang umurnya udah 9 bulan ya? Berat badannya juga udah pas,
udah bisa dijadwalkan buat imunisasi campak ya Bu..” atau “Kenapa berat
badannya ga naik juga, Bu? Gimana dengan pola makannya? Kita konsultasi nutrisi
ya..”
Tapi gak semua kisah seindah itu. Di sini aku diajari
untuk melihat kehidupan lebih seksama lagi. Your please-don’t-grow-up quote doesn't apply here. Aku ditegur lewat air mata seorang ibu yang perlahan
menetes waktu tau kalau anaknya yang suka keliling-keliling kamar, ternyata
menderita Autistic Spectrum Disorder. Aku ditegur lewat detik-detik dimana
seorang bapak diam tak bergeming, waktu konsulen tumbuh kembang menjelaskan
bahwa anaknya yang mendapat Down Syndrome, mungkin tidak akan melewati tahap yang sama untuk
menjadi dewasa seperti anak lain pada umumnya, dan meskipun sudah banyak
supporting group dan special needs school yang bisa mendukung keseharian
mereka, tetap saja si bapak diam. Aku ingat saat dimana dia cepat-cepat keluar
dari ruangan, dan kemudian menangis pelan di luar ruangan. Mungkin dia takut,
aura maskulinnya hilang kalau ketahuan menangis. Atau mungkin, dia malu. Malu
ketahuan nangis di depan para dokter muda, yang ah, tau apa sih soal hidup..
Dari situ aku belajar sesuatu yang tentang hidup. That
you have to grow up. That growing up isn’t always nice, but is a mandatory and
a part of life cycle. That growing up takes up your energy, but provides beautiful
scenery at the end of your journey. That growing up is a human nature and it’s
okay to mess with the process, as long as you grow up.
Aku sadar kalau selama ini aku sering banget
menghindar buat jadi dewasa. Mulai dari mudah tersinggung kalau gak diajak nonton bareng (padahal nonton sendiri juga bisa sih), sampai ngambek
pas tau kalau papaku ga bisa makan bareng (dan mungkin dia sibuk cari duit buat
biaya sekolahku sampe spesialis kali ye, but whatever..). Aku mulai sadar kalau
jadi dewasa itu bukan cuma umur di KTP yang ngizinin kita buat dapat SIM atau
yang lebih ekstrem, memberikan kita akses buat masuk ke tempat-tempat tertentu.
Karena menjadi dewasa lebih dari itu.
Karena dalam proses menjadi dewasa, seorang anak
pastilah pernah mengalami sakit. Atau trauma. Entah itu jatuh dari sepeda, atau
mungkin trauma due to parent divorce. Tapi semua itu gak menghalangi anak untuk
tumbuh besar dan jadi dewasa. And at the end of the day, ketika si anak udah
berumur di atas 18 tahun, dia akan dikatakan dewasa. Dewasa muda. Sama seperti
hidup. Kadang nyebelin. Kadang bikin pusing. Kadang bikin sakit hati. Uang kiriman
ortu belum nyampe. Belum lagi revisi skripsi yang salah melulu. Atau teman
yang ternyata naksir sama orang yang sama dan akhirnya malah kamu dimusuhin. Tapi
apapun itu, look, you’ve been here. You’ve been this far. And hey, it’s important
to thank yourself for getting this far.
So don’t you ever say, “Please don’t grow up…”
Cause you have to grow up.
Komentar
Posting Komentar