Untuk Semua yang Pernah Singgah dan Memberi Warna


Di persimpangan jalan kita bertemu.

Di sana, aku disambut dengan lambaian tangan yang begitu bersemangat. Sesekali, kala perutnya yang kecil itu cukup kenyang dan punya tenaga berlebih, aku dijemput dari ujung jalan. Masih kuingat saat pertama kita bertukar pandang. Ah, kau masih begitu kecil saat itu. Masih belum banyak tanya warna lipstik apa yang kupoles ke bibirku. Masih begitu polos menggaruk kepala yang menjadi rimba nan teduh untuk makhluk kecil yang ternyata namanya kutu. Dan sekarang sudah sangat lama sekali rasanya, sejak terakhir kita berbagi cerita. Apa kabarmu? Baikkah di sana?

Aku bingung kenapa akhir-akhir ini kita tidak pernah lagi bertemu. Memang, dari sekian banyak tangan kecil yang pernah kusentuh, kedua tanganmu cukuplah hangat. Entah kenapa, aku, di saat itu, merasa sangat sepi. Ada sepasang tangan kecil lagi yang mungkin sama atau bahkan lebih hangat dari punyamu, tapi kau yang berhasil. Berhasil meyakinkanku kalau ternyata apa yang guru sekolah mingguku katakan bertahun-tahun lalu benar. Kalau kebaikan tidak punya agama. Tidak punya suku. Tidak punya kewarganegaraan.

Dan sekarang, di sela-sela waktuku saat tak berkeliling di bangsal, aku bingung kemana harus mencarimu. Bukan aku tak tahu kau tinggal dimana. Bukan aku tak tahu kau sedang apa. Toh rumah itu tak jauh dari persimpangan jalan. Toh kaki ini masih kuat berjalan ke sana, mengetuk pintu rumahmu. Tapi yang membuatku ragu, apa aku masih bisa mengetuk pintu hatimu?

Mungkin abang-abang ganteng yang sering menyeringai layaknya serigala sudah cukup mengisi hari-harimu. Mungkin kau juga sudah mulai malu, menyambutku sambil berlari riang dengan sandal jepit favoritmu. Bukannya kau pernah bilang mau jadi seperti Bu Helen? Mau punya senyum yang malu-malu? Yang pernah kau bilang cantik? Ah, seandainya kau sadar kalau Bu Helen-mu tidak seanggun yang kau pikirkan.

Di persimpangan jalan kita bertemu.

Mengetuk pintu rumahmu aku bisa saja. Menarik sepasang tangan yang dulunya hangat juga aku bisa. Yang tak bisa aku lakukan adalah mengetuk pintu hati yang sudah tersekat rapat. Disekat dengan adanya batasan warna kulit, atau bahkan suku. Aku juga sudah mulai lelah. Meskipun teman seperjalanan sering mengingatkan misi di sepanjang perjalanan ini adalah menjadi seperti petani.

Jumat, 11.25

Kau sempat menangis, tapi kemudian menyeka beberapa tetes air mata yang jatuh perlahan di pipimu. Aku masih tercengang. Tak sampai lima menit, kau angkat telepon genggammu dan komat-kamit dalam Bahasa Batak. “Dang adong pe omak ni si monic,” dari sekian lama aku mengenalmu, bisa kubilang kali ini memang titik terendahmu. Lima menit berikutnya disusul dengan dokter yang perlahan menjauh. Kau angkat telepon lagi. Kali ini menegakkan posisimu berdiri. Berbicara lebih tenang. Aku tahu. Kali ini pastilah orang penting, mengingat bahasa yang digunakan kali ini adalah bahasa yang formal.

Kita sama-sama duduk di luar. Aku masih bodoh. Mungkin produksi kelenjar air mata begitu lama makanya kelopak mataku masih kering. Beberapa menyalami kita. Aku masih merasa disorientasi. Bingung, kenapa banyak yang malah memelukku?

Kita duduk memandangi televisi yang katanya edisi mutakhir saat itu. Bingung. Dulunya selalu ada jembatan di antara kita. Sekarang? Ah sial. Aku benci memulai sesuatu dari awal. Begitu pula memulai mengerjakan piring cucian yang menumpuk. Baju yang belum diseterika juga menggunung. Lantas, aku mulai darimana?

Maka aku mulai dengan diskusi mau masuk jurusan ilmu alam.

Hari-hari berikutnya diisi dengan ceritaku yang terkesan agak membanggakan diri. Akhirnya aku ikut tim debat. Akhirnya tim debatku masuk final. Akhirnya dapat uang yang mungkin tak seberapa dan hanya bisa menraktir kita semua martabak. Selanjutnya diisi dengan celotehanku tentang biolaku yang tak sebagus punya temanku. Di banyak kesempatan mulai kau titipkan beberapa mimpi yang dilengkapi dengan bonus cerita masa lalumu.

Aku tak tahu definisi dewasa itu apa. Tapi kalau ada yang bilang waktu beranjak dewasa kau mulai irit berkata-kata, mungkin itu benar. Tak banyak lagi percakapan kita. Kadang berbagi kata terasa begitu klise. Karena menjadi dewasa adalah berurusan dengan duniaku sendiri. Karena tak perlu lagi kau dengar cerita tentang apa yang temanku perbuat padaku tadi di sekolah. Tak ada lagi cerita tentang trik jitu soal Fisika di bimbel atau tentang teman sekelas yang ganteng.

Ah sial. Maafkan aku terlalu sering mengumpat. Tapi apa daya, kadang rasa rindu datang tak diundang. Rindu makan martabak bersama-sama. Rindu pergi menyewa video di Video Ezy. Toh sekarang semuanya bisa dilakukan sendiri. Ada mas gojek yang bisa bawakan makanan apa saja, ada Torrent tempat gadis pelit sepertiku memilah-milih film. Kurang apalagi, coba?

Di beberapa pertemuan kita, sering terucap rasa khawatir dari bibirmu. Ah, entahlah, biarlah Tuhan yang kita sapa tiap pagi yang mengatur kemudi kapal kita. Biarlah tegur sapa kita yang sekarang sudah lebih dewasa dan ikhlas menjadi alas kaki kita untuk perjalanan di tahun-tahun selanjutnya.

12 Maret

Dari sekian banyak doa yang kunaikkan, kau jauh dari yang kuminta. Tapi kenapa rasanya berbeda? Apa karena sekarang aku bermain hati dengan selisih usia? Kenapa kali ini rasanya begitu yakin? Apa karena pribadimu yang tahan uji dan tak terekspos di media sosial begitu memikat hati?

Kendati pun demikian, apa kau yakin denganku, dengan anak sekolahan yang sering mengeluh di ujung telepon? Seandainya saja jarak bukan lagi penghalang dan koneksi internet tidak setengah hati merestui kita.

Malam itu kita kelihatan berbeda. Bukan aku tak mau berbagi, mungkin belum saatnya. Entah kenapa, tembok keangkuhanku mulai terkikis. Entah kenapa, ingin sekali rasanya sebentar saja dimengerti. Entah kenapa, aku bingung dimana kita berdiri sekarang.

Dan entah kenapa, rasanya aku ingin kita beristirahat sebentar saja dari perjalanan jauh ini.

Blessings, 

Helena

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer