Urine


Tarik napas. Buang napas.

Dalam setiap tulisan yang saya unggah, saya berusaha untuk tidak kedengaran mengeluh, meskipun dari komentar lisan yang dilontarkan oleh seorang teman yang membaca blog saya (baca doang, kolom komentar ditinggalin) adalah saya sering sekali mengeluh.

Jadi baiklah, kali ini dan selanjutnya saya akan berusaha untuk tidak mengeluh.

Tak terasa, penghujung tahun 2015 sudah dekat. Saya yakin, bukan cuma saya yang tiba-tiba sadar dengan hal ini, kalianpun pasti menyadari hal ini. Beberapa mungkin mulai meninjau ulang, sudah berapa poin dari resolusi tahun 2015 yang bisa diekslusikan karena sudah dieksekusi. Beberapa mungkin berkilah, “Saya bukan tipe orang yang suka membuat resolusi setiap memulai sesuatu, Helena. Bagi saya, just do it.”

Terlepas dari kelompok manapun Kamu, saya mau sedikit berbagi tentang perasaan saya di (hampir) penghujung tahun 2015 ini. Alih-alih mencoret beberapa poin resolusi, saya mau mengajak Kamu untuk melihat lebih jauh.

Tahun 2015 adalah tahun pijakan untuk saya. Saya akhirnya mengalami transisi ke jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya, setelah tiga setengah tahun menjadi mahasiswa saya diberi tambahan gelar sarjana. Meskipun demikian, guru-guru saya kembali mengingatkan bahwa jalan yang saya dan teman-teman tempuh tidak mengenal kata tamat atau berhenti layaknya sinetron Cinta Fitri. Kami diberi tahu untuk tetap belajar sepanjang hayat, karena itulah esensi dari panggilan hidup kami. Lifelong learning.

Maka mulailah saya dan teman-teman mengarungi tahun klinis. Awalnya terasa indah, pakai jas putih, stetoskop menggelayut dengan manis di atas jas dokter. Hari-hari pertama masih begitu semangat. Bertemu pasien di lift juga tanpa segan, obral senyum. Untuk yang satu ini, saya masih pertahankan sampai detik ini. Jadi kalau nanti sakit, berobat ke dokter Helena saja ya, hehe..

Sampai tibalah saya ke masa-masa jenuh dimana hampir tiap hari dalam seminggu dipenuhi dengan jadwal jaga. Kalau hari ini jaga siang, besok jaga malam, lusa wajib hadir dan dua hari berikutnya kembali jaga malam. Tubuh saya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Yang membuat saya merasa sangat lelah, sebenarnya bukan beban fisik seperti tidur tidak lebih dari tiga jam (yang kalau lagi apes, bisa tidak diberi ijin untuk tidur atau mengaso ke kamar koas sama sekali), atau mesti mondar-mandir dari IGD ke bangsal mengekor residen, tapi lebih kepada beban mental.

Satu pagi sehabis jaga malam, sebelum jam wajib hadir salah satu pasien seolah memberikan wake up call untuk saya.

“Dik, kencing yang dari semalam ditampung mana? Kak dokter boleh minta, nggak?”

Dengan manja dia menggeleng. Anak yang satu ini memang terkenal tidak kooperatif. Sudah beberapa hari dirawat dan diedukasi untuk menampung urinenya beberapa jam sekali tapi tidak pernah dilakukan.
Lantas saya kembali ke station bangsal dan diam. Salah seorang teman bertanya kenapa muka saya terlihat suntuk. Bukannya apa-apa, tugas saya pagi itu adalah memeriksa urinenya dan kalau tidak ada hasil yang didapat pagi itu, saya bisa kena. Kena semprot, maksudnya. Maka berbagai cara saya lakukan untuk membujuknya. Setelah lebih dari satu jam bolak-balik kamarnya, akhirnya dia menunjuk botol air mineral yang ternyata ada di kolong tempat tidurnya. Botol itu berisi urine yang menurut pengakuannya adalah hasil kencing tadi pagi-pagi subuh. Tidak lebih dari 10 cc.

Bukan main senangnya saya. Setelah menyelesaikan tugas dan mencuci tangan, saya senyum-senyum sendiri. Beres. Seperti ada kepuasan sendiri akhirnya selesai juga amprahan yang diberikan pada saya. Sampai akhirnya…

Saya mengecek smartphone memastikan tidak ada panggilan dari teman yang sedang beli sarapan. Iseng-iseng saya buka instagram. Biasa saja sih sebenarnya. Foto panorama yang diambil dengan menggunakan fish eye, foto peralatan dandan yang ditata sedemikian apik, foto baju yang dijual online shop, kutipan kata-kata bijak, dan.. foto teman yang sudah bekerja di kantor. Tiba-tiba muncul perasaan kecil hati.

Alih-alih disuruh membawakan urine, mungkin diminta membawa kopi saja sudah agak berat ya. Itu kan pekerjaan intern. Beberapa artikel mungkin membahas bahaya duduk berlama-lama, sementara kami… ah mondar-mandir bagaikan setrika. Beberapa sudah duduk di cubicle mereka, sementara kami.. ah mungkin harus terjaga tengah malam.

Saya sangat picik saat itu. Betapa mengeluh dan membandingkan merupakan sisi yang harus dibumihanguskan dari dalam diri saya (mungkin untuk resolusi 2016 ya..)

Saya lupa kalau ini panggilan hidup saya. Saya juga mungkin tidak menghapal kata-kata, ‘Tidak ada hasil yang menghianati usaha” atau bahasa gaulnya “Hard work will be paid off”. Yang saya lakukan adalah membandingkan jalan saya dengan jalan orang lain. Lupa kalau setiap dari kita dihadapkan pada jalan yang berbeda, dan perbandingan bukanlah jawaban. Karena setiap dari kita sudah mendapat bagiannya masing-masing. Karena meskipun berbeda, semuanya adalah baik. Tidak mengenal kata lebih baik, atau bahkan lebih mulia.

Saya juga lupa kalau setia dalam panggilan hidup adalah wujud memikul salib.


Blessings,

Helena

Komentar

  1. Nilai plusnya: tidak ada aku temui yang salah ketik. Tukisannya rapi

    Negatifnya : 1. Coba lah konsisten buat 3 kalimat per pearagraf Jika di paragraf pertama buat 3 kalimat maka kedua dan seterusnya juga begitu.
    Oh iya satu paragraf itu bagus tujuh hingga delapan kata.
    Dengan kedua teknik dasar itu tulisanmu akan renyah dibaca.
    2. Terus kalau judulnya urine buat kata itu mucul di paragaraf pertama, kedua atau ketiga. Nah kenapa begitu ? Karena kebanyakan pembaca itu hanya tahan baca tiga paragraf saja. Jika menurut mereka tidak menarik maka mereka akan mencari yg lain. Nah tadi aku lihat kata urine itu muncul di paragraf tiga dari bawah.
    Aku gak begitu tau konsep blog itu apakah sama dgn novel yang harus narasi dulu atau intro dulu. Tp intinya di paragraf satu usahakan sudah buat penasaran.

    Nah kita bedakan lagi nih. Penasaran itu ada dua. Pertama penasaran yang membuat pembaca terhanyut dan ingin tahu kisah selanjutnya. Penasaran satu lagi adalah penasaran yang ditunggu-tunggu pembaca namun tak kesampaian hingga akhir ya ditinggalkan.

    3. Buatlah cerita yang menyampaikan pesan pada pembaca. Kalau bisa deskritif. Pesan itu gak harus to the point. Maksudnya buat lah pesan itu seolah bukan pendapatmu langsung.

    Itu aja sih. Semoga bermanfaat.

    Mungkin lain kali tulisanku diperkenankan diposting disini. Hehe. Nikson Sihombing

    BalasHapus
  2. Nilai plusnya: tidak ada aku temui yang salah ketik. Tukisannya rapi

    Negatifnya : 1. Coba lah konsisten buat 3 kalimat per pearagraf Jika di paragraf pertama buat 3 kalimat maka kedua dan seterusnya juga begitu.
    Oh iya satu paragraf itu bagus tujuh hingga delapan kata.
    Dengan kedua teknik dasar itu tulisanmu akan renyah dibaca.
    2. Terus kalau judulnya urine buat kata itu mucul di paragaraf pertama, kedua atau ketiga. Nah kenapa begitu ? Karena kebanyakan pembaca itu hanya tahan baca tiga paragraf saja. Jika menurut mereka tidak menarik maka mereka akan mencari yg lain. Nah tadi aku lihat kata urine itu muncul di paragraf tiga dari bawah.
    Aku gak begitu tau konsep blog itu apakah sama dgn novel yang harus narasi dulu atau intro dulu. Tp intinya di paragraf satu usahakan sudah buat penasaran.

    Nah kita bedakan lagi nih. Penasaran itu ada dua. Pertama penasaran yang membuat pembaca terhanyut dan ingin tahu kisah selanjutnya. Penasaran satu lagi adalah penasaran yang ditunggu-tunggu pembaca namun tak kesampaian hingga akhir ya ditinggalkan.

    3. Buatlah cerita yang menyampaikan pesan pada pembaca. Kalau bisa deskritif. Pesan itu gak harus to the point. Maksudnya buat lah pesan itu seolah bukan pendapatmu langsung.

    Itu aja sih. Semoga bermanfaat.

    Mungkin lain kali tulisanku diperkenankan diposting disini. Hehe. Nikson Sihombing

    BalasHapus
  3. Terima kasih untuk sarannya, abangda Nikson. Senang bisa dikomentari oleh wartawan seperti abang. Mudah-mudahan kerangka tulisan saya selanjutnya lebih kokoh dan bisa menyampaikan pesan,kalaupun tersirat, untuk pembaca.

    Rajin-rajinlah mampir biar abang bisa memantau perbaikan tulisan saya,
    Salam Gembul

    BalasHapus
  4. hai dek Helena. aku Farida. teman kakak mu, Monica dr SD sampai SMP. entah kamu kenal atau enggak.
    senang baca tulisan mu. aku banyak belajar dari caramu menulis. dan yang palin penting kamu menulis apa yang kamu rasakan.
    oiya, untuk tulisanmu ini, aku juga pernah merasakannya. kenapa jalanku tak sebaik jalan orang lain...bahkan kenapa aku tidak sepintar kakakmu.hehehhe. aku membandingkan kehidupan ku dengan orang lain yang jelas-jelas beda dan ga jarang mikir kalau aku selalu susah dan hidupnya paling merana. heheh. aku pernah baca di sebuah buku, " ganjaran terbesar pada pekerjaan yang sulit bukan hasil yang akan diperoleh, melainkan akan menjadi apa anda karenanya." Entah kenapa kata-kata ini benar-benar berhasil membuatku sadar kalau "capek-capek" dengan rutinitas, duduk lama-lama di meja gambar, lari-lari ngejar dosen, bahkan sampai ga mandi ke kampus, bukan hanya untuk hasil nya nanti, tapi seberapa tangguh aku menjalani sesuatu dan ga bosan dibuatnya.
    kakak harap kamu tidak lagi mengeluh untuk pekerjaan yang mulia ini dan ga bosan dengan rutinitas kamu.
    aku setuju, "mengeluh dan membandingkan" adalah hal yang harus dibumi hanguskan.
    dan itu kayaknya resolusi yang paling wajib di tahun 2016.
    semoga kamu sukses ya...
    salam untuk kakakmu,

    6 November 2015 09.44

    BalasHapus
  5. Bahagianya sebagai dokter yah len, dapatin kencing pasien aja bisa bahagia, Dulu aku ada impian jadi dokter kejiwaan, tapi lihat tulisanmu untuk meminta urin aja sebegitu sulitnya jadi kebayang sendiri seberapa sulitnya kalau jadi dokter kejiwaan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer