Slipping Through My Fingers

I try to capture every minute 
The feeling in it 
Slipping through my fingers all the time 
Do I really see what's in her mind 
Each time I think I'm close to knowing 
She keeps on growing 
Slipping through my fingers all the time 


 -ABBA

Namanya Stevani. Dari kaca mobil yang basah kuyup diguyur hujan sore itu, kulihat dia mengambil tasnya dari warung. Tangannya yang gendut itu dengan tangkas mengambil beberapa buah permen dalam toples kaca sebelum dia pulang. Bergegas dia masuk ke mobil, menemui bapak dan kakaknya.

Tak banyak permbicaraan yang bergulir dalam perjalanan singkat menuju rumah malam itu. Remaja bulat ini sesekali terdengar mengunyah permen yang dia beli, membiarkan lagu anak muda yang diputar di Prambors FM menemaninya melamun.

Dug!
Pintu mobil pun ditutup. Vani masuk ke rumah yang gelap gulita. Segera digantinya baju lesnya dengan baju santai di rumah, tanpa memakai pakaian dalam. Dari balik kausnya yang tipis itu, bisa kulihat dadanya yang mulai tumbuh dan perutnya yang buncit akibat banyak makan jajanan.

"Ah kakak sana lah, aku kan mau nonton.." ujarnya saat kakaknya mendekatinya di ruang tengah. Kakaknya yang merasa ditolak itupun masuk ke kamar, dan mulai mengemasi buku yang dibutuhkannya untuk belajar di kosan. Vani masih sibuk dengan kartun Naruto-nya yang ditayangkan di salah satu channel tv kabel. Baginya, Naruto adalah guru. Guru yang mengajarkan strategi berperang yang (menurutnya) keren. Guru yang mengajarkan gaya baru berpakaian, dengan mengikatkan selembar kain tipis di dahi yang menurut anak seumurannya juga adalah keren. Guru yang kadang membeberkan hal yang dia tidak tau, sehingga pernah kudengar ia bertanya pada kakaknya, "Kak, memangnya kenapa kalau dada perempuan datar?"

Mungkin itu saja yang bisa kuceritakan dari pertemuanku malam itu dengan Vani dan keluarganya. Jujur, aku agak segan untuk menyuguhkannya banyak pertanyaan, tatkala kulihat dia sudah asik dengan dunianya sendiri. Dunia yang mungkin tidak dijalani oleh semua anak seumurannya. 

Kalau saja Vani punya hak untuk menggugat Tuhan, dan kalau saja dia memahami apa yang terjadi pada dirinya, kurasa dia akan menggugat Tuhan. 

Kakaknya pernah cerita padaku, kalau dulu, sewaktu dia TK, Vani suka sekali bermain ayunan. Menunggu jemputan mamanya bukan masalah besar, walaupun harus menunggu sampai satu jam. Selain bermain ayunan, berlari-lari bersama teman sekelas merupakan agenda hariannya. Tapi mungkin hal itu berubah sedikit demi sedikit saat mamanya meninggal. Kata pembantunya, vani jadi malas bermain ayunan. Tapi toh jawaban bapaknya datar saja, "Kan itu tandanya sudah mau besar..."

Memasuki tahun awal sekolah dasar, dia mulai sadar posisinya sebagai anak piatu. Vani kerap kali dimarahin kakaknya kalau tulisannya dianggap tidak serapi temannya. Dari pengakuannya padaku, dia mengeluh kalau kakaknya yang saat itu masih sma terlalu banyak menuntut. Padahal, anak kecil seperti dia harusnya mengisi hari-hari dengan bermain dan tertawa, bukan dengan PR yang menumpuk dan karya seni yang tidak logis dan tidak mampu dikerjakan oleh seorang kelas dua SD.

Hari berganti. Mungkin begitu juga dengan keadaan keluarga Vani. Dia baru tau kalau bapaknya yang seorang abdi negara harus dipindahtugaskan ke kota lain yang jaraknya sembilan jam dari rumah. Jadilah vani tinggal bersama kakaknya yang juga masih bingung menjalani masa remaja bersama seorang pembantu yang juga masih muda belia.

Ah, ada-ada saja tantangan hidup ini. Vani mulai heran kenapa teman bermain yang mestinya teman tertawa dan main petak umpet, justru kadang mem-bully dia. Vani juga pasrah kalau terkadang dipukul kakaknya saat bilang kalau dia terlambat sekolah dan disuruh pulang saja. Kakaknya mengamuk. 

Meskipun dia tidak mendapat peringkat atas di sekolah, dia cukup pintar untuk membaca gejolak keluarganya saat itu. Vani tidak banyak bertanya kalau kakaknya menangis terisak-isak sehabis pulang dari warung. Ah, paling mereka suruh bapak kawin lagi, begitu pikirnya. Terkadang, dihiburnya kakaknya dengan nasihat dari film-film kartun atau game yang dia senangi. Yang Vani tau kalau kakaknya sedang stress, dan bisa mengamuk kapan saja. Tapi katanya, kadang, kakak bisa sangat baik, mau mengajak jalan-jalan, membelikan komik, dan bertanya tentang sekolahnya. 

Kalau bicara soal iman, dia tak mau komentar banyak. Aku sering lihat dia makan mie pangsit ditengah-tengah misa. Katanya, "Kan bosan.." Aku juga kurang menangkap bagaimana sebenarnya pandangan gadis kecil ini tentang Tuhan, tapi aku tau dia bukan seorang agnostik. Walaupun beberapa kali, kulihat dia dan kakaknya mempertanyakan eksistensi Tuhan dalam hidup mereka yang penuh lika-liku.

Sekarang Vani sudah besar. Fokusnya adalah masa depannya. Buatnya, lulus SD dan melanjutkan SMP ke sekolah swasta yang sering dibicarakan teman-temannya sudah cukup mengobati hatinya. Karakter Naruto dan Phineas and Ferb juga sudahlah cukup menjadi temannya di siang bolong sebelum masuk les. Vani tak banyak lagi menghabiskan waktu dengan kakaknya, karena dia sadar kalau sekarang semua sudah punya jalannya masing-masing. Kututup wawancaraku dengan mendoakan yang terbaik untuk gadis muda yang rambutnya bau matahari ini. Mungkin, kata salut tidak cukup pantas untuk menggambarkan bagaimana kagumnya aku melihatnya menjalani hari-harinya. Dalam hati aku berdoa, agar bila tiba saatnya, tiap pengalamannya ditulis dalam buku biografi hidup seorang besar di masa depan nanti. Kuangkat tumpukan buku dan beberapa helai baju yang barusan kuambil dari lemari dan lalu memakai sepatu.

Kulihat dia berjalan ke arah ku, sambil berkata, "Kak, kunci kamar jangan dipindahkan ya.."

12 jam sebelum OSCE,
kakakmu yang selalu mendoakanmu.

Komentar

  1. She will find a way to find herself, dear. Don't worry!

    BalasHapus
  2. Pastinya ada pelangi di balik hujan, tetep semangat :))

    EyD-nya masih kacau, hehe, terutama huruf kapital.

    Ayo menulis lagi!!! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih grace, aku baru sadar. Oke makasih, tetap pantengin blogku ya!! :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer