Bipolar, Nutella, dan Bau Ketek
21
Januari adalah hari terakhir saya ujian. Finally! Setelah 3,5 tahun kuliah dan
setahun belakangan sibuk mengerjakan KTI, saya akhirnya semakin dekat dengan
gelar Sarjana Kedokteran. Honestly, saya takut dipanggil sarjana sebelum ilmu
saya pantas jadi sarjana. Tapi yah, saya tetap pengen lulus tepat waktu, kan
udah capek kuliah.. Anyway, ngomongin belajarnya entar aja ya.
Entah
kenapa, sepulang ujian tadi hati saya tergerak buat beli peralatan co-ass. Anak
kos pas-pasan kayak saya punya banyak mobil yang bisa dinaiki dan supirnya
berganti-ganti pula (angkot, red.). Karena kosan saya di daerah Padang Bulan
Medan, jadi saya naik angkot 103. As always, abang keneknya nanya,
“Bulan,dek?”
Tiba-tiba
saya merasa ciut. “Ah, abang. Baru ketemu aja udah berani janji bawa aku ke
bulan. Beda banget sama dia yang selalu aku bawa dalam doaku. Boro-boro janji
bawa aku ke bulan, ngomong aja jarang..”
Bicara soal janji, di bulan Januari yang masih dalam suasana tahun baru dan penuh semangat buat mewujudkan resolusi, selesai ujian ini saya tepati janji buat habisin buku yang selama ini
gak habis terbaca. Salah satunya adalah The Good Luck of Right Now written by
Matthew Quick. Buat yang rajin pantengin XXI, pasti tahu dong kalau Quick
ini penulis The Silver Linings Playbook yang filmnya dibintangi oleh Jennifer Lawrence.
Nah, kalau
diminta buat menilai buku The Good Luck of Right Now, saya bakal kasih rating
10 dari 10. Saya rasa buku ini pantas buat diangkat jadi film, karena ceritanya…
Super! Jadi tokoh utamanya adalah Bartholomeus Neil, pria 40 tahun yang kalau
di dunia nyata sebenarnya orang biasa without extraordinary things. One thing
yang buat saya salut sama Quick, dia mahir mendeskripsikan Neil yang sebenarnya
biasa saja, jadi orang yang memberi impact besar ke lingkungan sekitarnya. It’s
like, you don’t have to be big to make the change.
Hal lain
yang saya suka dari buku ini adalah sikap Quick yg rasional. I don’t know
whether he is a believer or not, tapi saya kagum waktu Father McNamee
(tokoh biarawan yg ternyata ayah biologis Neil) mempertanyakan
rasionalitas Tuhan. Like when he’s questioning if it’s possible that He is a
bipolar, karena sebentar Dia baik banget dan sebentar bisa marah besar kayak waktu
Dia pergi ke Bait Allah dan marah karena banyak pedagang di sana. Wew. Saya kira
cuma saya yang pernah penasaran tentang itu.
Dan
sepertinya, Matthew Quick punya ketertarikan khusus pada Bipolar Disorder ya,
because all his books are about it.
Quick
juga bilang dalam bukunya kalau one man’s fortune is another man’s misfortune. And
life is in cycle form. Sebentar kita bisa senang karena tiba-tiba dapat rejeki nomplok,
dan sebentar bisa sedih. Tapi yang terpenting, hidup ini adalah adil. Pasti bukan
kebetulan kalau pesan Quick ini kena banget ke saya yang hobi mengeluh ke siapa saja. Tiap kali bertelepon ke kakak saya, keluhan saya selalu sama, “Mon, aku
aku makin gendut aja nih…” Dan segala macam keluhan lain yang bisa saya
lontarkan.
Mengeluh itu wajar, dan bisa dikatakan kalau saya orang yang paling berbakat
mengeluh. Bukan hanya di telepon dengan orang terdekat, lewat chat messenger,
foto di akun instagram, atau bahkan di snapchat pun saya bisa mengeluh.
Kecuali di
foto ini
Dan kalau sudah mengeluh, ujung-ujungnya selalu sama. Merasa frustasi. Kalau di film-film
keren exit strategy saat seseorang putus asa adalah ecstasy, kalau exit
strategy saya adalah ngemil. Semenjak sibuk KTI, pola makan dan
pola tidur saya kacau balau sampai berat badan saya naik.
Andai hidup selalu semanis nutella. Ah.
Oke deh, sampai di sini dulu cerita saya. Saya
mau mandi dulu karena sepertinya aroma badan saya sudah semerbak dan saya juga sudah
ngantuk dan capek karena seharian bolak-balik rumah sakit dan kampus.
Cheers,
Helena.
Ehh... Selasa ini kamu ujian khan..
BalasHapusSelamat ujian yakkk buk dokter
thanks bang frans!
BalasHapus